Imam Syafii terkenal dengan nama al-Syafi`i. Nama lengkapnya adalah Muhammad
bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi`i bin Saib bin `Abid bin Abdu
Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abd Manaf yang juga kakek Rasulullah.
Ibunya berasal dari Azad Yaman bukan dari Quraisy.Nama
lengkapnya Fatimah binti Abdullah Al-Azdiyah. Ia memiliki keutamaan dalam
membentuk Imam al-Syafi`i. Sedangkan ayahnya berdarah Quraisy. Ayahnya wafat
saat Imam al-Syafi`i berada di dalam kandungan ibunya saat berusia 2 tahun.
Dengan demikian jelaslah bahwa ia adalah keturunan bangsa Quraisy yang
silsilahnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw pada Abdul Manaf.
Mengenai tempat kelahiran al-Syafi'i terdapat tiga versi yang berbeda.
versi pertama berpendapat bahwa Imam al-Syafi`i dilahirkan di Kota Gazza Palestina,
pendapat ini pula yang dipegang oleh mayoritas ahli sejarah serta ulama fiqh.
Namun, di tengah-tengah pendapat yang populer ini terdapat pula pendapat lain.
Versi kedua berpendapat bahwa al-Syafi`i dilahirkan di Asqolan, yaitu sebuah
kota yang berjarak sekitar tiga farsah (8 km dan 3 1/2 mil) dari kota Gazza.
Sedangkan versi ketiga berpendapat bahwa ia lahir Yaman, meskipun demikian para
ulama lebih berpegang pada pendapat versi pertama, yaitu al-Syafi`i lahir pada
tahun 150 H atau (767 M).
Di tahun ini pula wafat seorang ulama besar pendiri Mazhab Hanafiyah, yaitu
Imam Abu Hanifah. Imam al-Syafi`i hidup dengan status sebagai seorang anak
yatim dari keluarga miskin dan hidup dengan ibu yang berstatus janda. Kemudian
al-Syafi`i dibawa ke Mekkah dan dibesarkan di kota itu. Semasa tinggal di
Mekkah ia menuntut ilmu dan berguru kepada para ulama yang ada di kota
tersebut. Dalam kondisi seperti itu, Imam al-syafi`i memanfaatkan dengan
sebaik-baiknya untuk pendidikan, pembentukan pribadi, dan penguasaan ilmu-ilmu
yang bermanfaat. Di samping semangat pencarian ilmu yang luar biasa terdapat
juga hal yang sangat potensial dan istimewa dalam diri al-Syafi`i, yaitu
kekuatan penghafalannya sehingga ia mampu menghafal al-Qur`an.
Pada usia 7 tahun di Kuttab, yaitu lembaga pendidikan terendah yang ada
pada masa itu, kemudian karena ingatannya sangat kuat ia selalu dapat menghafal
setiap pelajarannya yang diberikan oleh gurunya. Ia menghafalkan pula
kitab Imam Malik “kitab Muwattha” pada usia 10 tahun, kemudian setelah ia
berumur 15 tahun oleh seorang gurunya, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji ia
diizinkan untuk mengajar dan memberi fatwa kepada halayak ramai. Iapun tidak
keberatan menduduki jabatan guru besar dan mufti di Masjid al-Haram di Kota
Mekah.
Semenjak kecil hingga remaja kecerdasan sang Imam sudah mulai terlihat
serta keuletannya dalam dunia pendidikan. Ini terlihat dari semangatnya dalam
mencatat dan mengambil pelajaran dari para gurunya yang ia dengar dan ia baca
melalui pelapah korma, kulit unta, daun, dan sebagainya. Dengan bermodalkan
kecerdasan, Imam al-Syafi`i menulusuri dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk
pengembaraan intelektualnya. Ia merantau dan berkelana ke beberapa pelosok
negeri guna mendalami ilmu pengetahuan. Dalam pengembaraan intelektualnya
pertama kali al-Syafi`i menginjak kaki di kota Mekkah untuk memperdalam bahasa
Arab orang Badui, yaitu Bani Huzail yang terkenal paling fasih dalam
berbahasa Arab dan faham tentang syair-syair bahasa Arab. Ia belajar pada orang
badui selama kurang lebih sepuluh tahun. Hingga dalam suatu riwayat dikatakan
bahwa kemampuan dan penguasaan yang ia miliki dalam bidang bahasa Arab mampu
menafsirkan al-Qur`an.
Selain itu, Imam al-Syafi`i belajar pula pada seorang ulama Mekkah
yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji, karena kemampuannya yang luar biasa
dalam menyerap semua pelajaran yang diberikan gurunya sehingga ia diberi izin
untuk mengeluarkan fatwa oleh gurunya tersebut. Meski Imam al-Syafi`i telah
mendapat izin untuk berfatwa, namun semangat untuk menuntut ilmu masih membara.
Sehingga tidak berlebihan kirannya beberapa orang ulama memberikan suatu
sanjungan terhadapnya atas prestasi yang ia miliki yang telah mendapat
kepercayaan menjadi mufti sejak usia ramaja. Prestasi yang dimiliki al-Syafi`i
tidak menyurutkan semangatnya dalam menuntut ilmu.
Semasa masih tinggal di Mekkah ia mendengar adanya seorang ulama besar Imam
kota Madinah, yaitu Imam Malik ra. Timbullah keinginannya mendatangi Kota
Yastrib guna menimba ilmu kepada Imam Malik. Sebelumnya ia telah mempersiapkan
diri membaca dan mempelajari kitab al-Muwathttha (karya Imam Malik) yang
sebagian besar telah dihafalkannya. Setelah membaca dan menghafal kitab
al-Muwathttha keinginannya untuk pergi mengunjungi Imam Malik semakin kuat.
Imam al-Syafi`i semakin tertarik pada fiqh Imam kota Madinah tersebut, terutama
yang berkenaan dengan hadits Rasulullah saw. Al-Syafi`i berangkat ke kota
Madinah dan tinggal selama beberapa tahun di kota tersebut.
Al-Syafi`i benar-benar memanfaatkan kesempatan untuk belajar menambah ilmu
pengetahuan dalam bidang hadits dan fiqh. Sehingga ia menjadi orang terkemuka
diantara para murid Imam Malik dan mendapat izin untuk berfatwa dari Imam
Malik. Al-Syafi`i berguru pada Imam Malik sejak pemerintahan al-Mahdi Ibnu Mansyur
pada tahun 164 H sampai pada wafatnya Imam Malik, yaitu pada tahun 179 H sejak
itu ia menetap di rumah Imam Malik . Ini berarti bahwa al-Syafi`i bersama Imam
Malik selama 15 tahun yang dimulai sejak berusia 14 tahun.
Setelah Imam Malik wafat al-Syafi`i tidak lagi tinggal di Madinah ia pindah
ke Yaman dan bekerja pada seorang wali negeri di Yaman. Al-Syafi`i juga sempat
belajar pada ulama-ulama yang ada di sana di antaranya : Mu`tharif Ibnu Mazin
Hisyam Ibnu Yusuf, Amr Ibnu Abi Salamah, dan Yahya Ibnu Hasan. Dengan demikian
ilmunya semakin lengkap dan luas.
Namun, ia masih terus melanjutkan pengembaran intelektualnya dari kota satu
ke kota lainnya. Hingga tibalah Imam al-Syafi`i menginjakkan kakinya ke
Bagdad pada zaman kekuasaan Harun al-Rasyid sekitar tahun 189 H. Di kota
ia sempat mempelajari fiqh ulama Irak dengan notabenenya adalah ulama ahlul
ra’yi, sedangkan sebelumnya al-Syafi`i adalah pengikut mazhab Malik yang
merupakan tokoh dari kalangan ahlul hadits dan ia selalu membela fiqh Madinah
sehingga dikenal dengan sebutan Nashir As-Sunnah (pembela sunnah).
Pada saat inilah al-Syafi`i menulis karyanya yang berjudul al-Hujjah yang
secara komprehensif memuat sikapnya terhadap persoalan yang berkembang dan
kitab inilah yang sering dinamakan sebagai kumpulan-kumpulan qaul qadim
al-Syafi`i . Kemudian pengembaraan sang Imam belum berhenti sampai disini
ia melanjutkan perjalanannya yang terakhir kalinya, yaitu di Mesir yang
bertepatan pada tanggal 28 Syawal Tahun 198 H , bersama al-Abbas bin Musa salah
seorang pekerja pemerintah sebelum masa kepemimpinan al-Makmun. Dalam satu
riwayat diungkapkan bahwa sang Imam berangkat ke Mesir meninggalkan jazirah
Arab pada tahun 199 H dan menetap di sana pada usia 50 tahun di Fusthoth
(Mesir) .
Kedatangan sang Imam di Mesir disambut dengan gembira oleh masyarakat
beserta ulama-ulamanya. Setiba di Mesir ia mulai bertemu dengan ulama-ulama di
sana dan mengajar pada Masjid Amru bin Ash yang berada di Mesir sekarang.
Al-Syafi`i menyibukkan diri dengan mengajar dan belajar dari pagi hari hingga
siang hari (sholat zuhur) tiba, adapun yang ia ajarkan bermacam-macam ilmu
diantaranya ilmu al-Qur’an, Ilmu Hadits, Bahasa Arab, ilmu Arud, Syair-syair
dan ilmu Nahwu.
Kemudian dari sinilah ide-ide dan gagasannya mulai tumbuh untuk mengarang
sebuah kitab yang bernama al-Risalah, yaitu salah satu kitab yang membahas
pondasi atau dasar-dasar ilmu Ushul Fiqh. Dari jasanya ini ia patut digelari
peletak batu pertama dasar-dasar ilmu Ushul Fiqh yang kemudian dilanjutkan
dengan karangannya yang terakhir, yaitu kitab al-Umm, di mana al-Umm ini
merupakan fiqh Imam al-Syafi’i pada akhir masa ijtihadnya. Fiqh ini merupakan
akhir dari pendapatnya dan sekaligus gambaran pendapat sang Imam dalam sebuah
permasalahan.
Dalam pengembaraan ilmu-ilmunya Imam al-Syafi`i belajar dari beberapa guru
sehingga metode ilmu fiqhnya dijadikan sebagai acuan oleh ulama yang lainnya.
Ia belajar dan menuntut ilmu ke beberapa tempat seperti, Mekkah, Madinah, Yaman
dan Irak.
Pada periode awal pendidikannya al-Syafi’i belajar bersama guru terkemuka
di kota Mekkah. Di antara ulama Mekah yang menjadi guru-guru Imam al-Syafi`i
adalah: a. Sufyan Ibnu ‘Uyainah b. Muslim
Ibnu Khalid Al-Zanji c. Sa’id Ibnu Salim al-Kaddah
d. Daud Ibnu Abd al-Rahman ar-Athan. e. Abd
al-Hamid’ Abd al-Aziz Ibn abi Ruad
Sementara itu antara ulama Madinah yang dijadikan guru oleh Imam al-Syafi`i
adalah : a. Imam Malik bin Annas b. Ibrahim
Ibn Sa’ad al-Anshori c. Abd al-Aziz ibn Muhammad
al-Dahrawardi d. Ibrahim Ibn Yahya al-Asaami
e. Muhammad Ibn Sa’id Ibn Fudaik f.
Abdullah Ibn Nafi` as-Shaig
Sedangkan Ulama Yaman yang dijadikan guru oleh Imam al-Syafi`i adalah
: a. Mutarrod Ibn Mazim b. Hisyam Ibn
Yusuf c. Umar Ibn Aby Salamah d. Yahya Ibn
Hasan e. Hakim Shana
Begitu pula dengan di Irak, ulama yang dijadikan guru oleh Imam al-Syafi`i
adalah : a. Waki` bin al-Jarrah
b. Abu Usamah Hammad bin Usammah keduanya orang Kuffah
c. Ismail bin Ali d. Abdul Wahab bin Abdul
Majid keduannya orang Basrah
Di samping berguru, ia juga memiliki beberapa murid pada periode berikutnya
dalam rangka mengembangkan ajarannya. Sebagaimana yang diketahui bahwa Imam
al-Syafi`i dalam eksepedisi intelektualnya terdapat empat fase yang dilaluinya,
dan fase akhir yang merupakan fase kesempurnaan dari mazhabnya, yaitu periode
Mesir yang matang.
Dari beberapa periode tersebut Imam al-Syafi`i mempunyai banyak murid
yang selalu setia menimba ilmu kepadanya ia baik saat ia menetap di kota Mekah,
Bagdad, maupun ia berada di Mesir.
Adapun murid-murid al-Syafi`i yang pada periode berikutnya mengembangkan
ajaran fiqhnya bahkan adapula yang mendirikan aliran fiqh sendiri.
Di antara muridnya yang ada di Mekkah antara lain : (1)
Abu Bakar al-Humaidi (2) Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad
al-Abbasi (3) Abu Bakar Muhammad bin Idris
(4) Abu al-Walid Musa bin Abu al-Jarud
Murid-murid yang berada di Bagdad antara lain : (1)
Abu al-Hasan Ash-Shabah az-Za`farani (2) Abu Ali al-Husaini
bin Ali al-KArabasi (3) Abu Tsaur al-Kalbi
(4) Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad bin Yahya
Asy`ari al- Bashri (5) Imam Ahmad bin Hambal
(6) Ishak bin Rahwaih dan sebagainya.
Sedangkan murid-murid yang ada di Mesir antara lain : (1)
Harmalah bin Yahya bin Harmalah (2) Abu Ya`qub bin Yahya
al-Buwaithi (3) Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzni
(4) Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam
(5) Ar-Rabi` Sulaiman bin Daud al-Jizi (6)
Ar-Rabi` bin Sulaiman al-Muradi
Dari uraian di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Imam al-Syafi`i
telah mempelajari ilmu dari sejumlah guru besar yang mempunyai aliran mazhab
yang bermacam-macam. Oleh karena itu, dapat dikabarkan bahwa Imam al-Syafi`i
telah mempelajari fiqh Imam Malik ra seorang ulama besar dari kalangan ahlul
hadits. Imam al-Syafi`i juga mempelajari fiqh al-Lais Auza`i dari sahabatnya
yang bernama Umar bin Abi Salamah, dan mempelajari fiqh Laits bin Sa`ad fuqaha
Mesir dari sahabatnya yang bernama Yahya bin Hasan, kemudian mempelajari fiqh
Imam Abu Hanifah dan sahabatnya melalui Imam Muhammad bin al-Hasan.
sumber : http://amqadhizakka.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment