BAB I
1. Latar Belakang
Hakim adalah seseorang yang melakukan kekuasaan kehakiman yang di atur
menurut undang-undang, seseorang yang memutus suatu perkara secara adil
berdasarkan atas bukti-bukti dan keyakinan yang ada pada dirinya
sendiri. Dalam melakukan kekuasaan kehakiman hakim dihadapkan dengan
berbagai hal yang dapat mempengaruhi keputusannya nanti. Dengan demikian
jabatan hakim ini menjadi sangat penting karena memutus suatu perkara bukanlah
hal mudah. Ia harus sangat berhati-hati menjatuhkan hukuman kepada yang
bersalah sebab yang bersalah kadang-kadang dibenarkan. Sedang yang benar
terkadang disalahkan.
Seorang hakim menjadi sangat rentan akan berbagai penyimpangan baik
dilakukan secara sengaja misalnya memutus seseorang yang bersalah kemudian
dibenarkan hanya karena memberikan uang kepada hakim tersebut ataupun yang
dilakukannya secara tidak sengaja misalnya memutus seseorang yang tidak
bersalah karena bukti-bukti yang menunjukkan demikian.
Segala sesuatunya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Oleh
sebab itu jabatan hakim mendapat perhatian khusus, antara lain dalam hukum
positif terlihat dengan adanya undang-undang pokok kehakiman yang secara khusus
mengatur tata cara peradilan termasuk jabatan hakim. Tak hanya dalam hukum
positif dalam hukum Islam pun jabatan hakim mendapat perhatian khusus dengan
ayat-ayat al-Quar’an yang membahas tentang jabatan hakim ini bahkan jauh
sebelum hukum positif mengaturnya.
2. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hakim
2. Syarat-Syarat Menjadi Hakim
3. Tata cara pengadilan menjatuhkan hukuman
4. Unsur-unsur peradilan
5. Hakim wajib mencari keadilan dalam
mengadili manusia
6. Kesopanan dalam menghukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim
Hakim atau qadhi, yaitu orang yang
diangkat oleh penguasa untuk mengadili perkara diantara manusia menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang bersumber dari hukum Islam.
Pengangkatan hakim oleh penguasa, karena penguasa tidak mampu melaksanakan
lembaga peradilan sendiri. Kata hakim dikatakan Qadhi sebagai orang yang
memutuskan, mengakhiri atau menyelesaikan perkara.[1]
Pada masa Rasulullah SAW yang menjadi
hakim dan jaksa penuntut umum adalah Rasulullah sendiri dan hukum yang hendak
dijatuhkan wajib menurut hukum yang diturunkan Allah SWT. Dalam firman-Nya
dalam surat An-Nisa’ ayat 105, yang berbunyi :
انا انزلنا اليك الكتب بالحق لتحكم بين الناس بماارىك الله ولا تكن للخا ىنين
خصيما
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah),
karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. An-Nisa’ : 105)[2]
Dalam ayat lain Allah berfirman
pula: “Dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukuman yang
diturunkan Allah, maka mereka itu oang-orang yang kafir.”
Oleh sebab itu, seseorang yang telah
diangkat menjadi hakim hendaklah sangat sangat berhati-hati dalam menjatuhkan
hukuman kepada manusia yang bersalah. Jika hal itu terjadi, maka seorang hakim
telah melakukan kezaliman yang harus dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT
dikemudian hari. Sebab diantara hakim berbeda-beda dalam menjatuhkan hukuman.
Ada yang memberikan kebenaran tanpa memperhatikan mana yang salah dan mana yang
benar. Dan ada pula yang Sungguh-sungguh mencari kebenaran dalam suatu perkara.
Berdasarkan hal itu hakim terdiri atas
tiga bagian, sebagimana yang dinyatakan oleh Nabi sebagai berikut.
عن بريدة رضي االله عنه قال: قال رسول االله
صلى االله عليه وسلم (القضاة ثلاثة: اثنان في النار, وواحد في الجنة. رجل عرف
الحق, فقضى بهو فهو في الجنة. ورجل عرف الحق, فلم يقض به, وجار في الحكم, فهو في
النار. ورجل لم يغرف الحق, فقضى للناس على جهل, فهو في النار) رواه الاربعه, وصحه
الحاكم
“Nabi SAW bersabda :”Hakim itu ada 3
(tiga): seorang di Surga, dan dua orang di Neraka, yang seorang, ia mengetahui
kebenaran dan memutuskan dengan kebenaran tersebut (ia layak mendapat surga).
Orang mengetahui kebenaran, tapi ia melanggarnya dalam memutuskan hukum. Karena
itu ia mendapat neraka. Dan orang dengan kebodohannya , menetapkan hukum untuk manusia
(sehingga menjadi salah dalam menetapkannya), maka ia dapat neraka”. (HR. IMAM
EMPAT).
Dengan demikian dapat disimpulkan menurut
Nabi hakim terdiri dari:
a. Hakim yang mengerti akan kebenaran dan
menghukum dengan benar (masuk surga)
b. Hakim yang mengerti akan kekuasaan namun
melakukan penindasan (masuk neraka)
c. Hakim yang menghukum manusia karena
ketidaktahuan (masuk neraka)
Oleh karena itu jabatan hakim adalah
jabatan yang penuh tanggungjawab yang sangat besar. “Sabda Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda beliau: “Barang siapa yang
dijadikan hakim di antara manusia maka Sungguh ia telah disembelih dengan tidak
memakai pisau.” Oleh sebab itu banyak ulama-ulama yang sadar, tidak mau
diangkat menjadi hakim jika sekiranya masih ada orang lain yang patut.
Misalnya Ibnu Umar takut menjadi hakim
ketika diminta oleh Utsman bin Affan, imam Abu Hanifah tidak mau menjadi hakim
ketika diminta oleh khalifah Al Mansyur, hingga ia dipenjarakan oleh khalifah
Al-Makmun. Namun kiranya perlu ditugaskan bahwa menerima jabatan hakim itu
fardhu kifayah hukumnya diantara orang-orang yang patut menjadi hakim.
B. Syarat-Syarat Menjadi Hakim
Para ahli memberikan syarat-syarat dalam
mengangkat seorang hakim, walaupun ada perbedaan dalam syarat-syarat tersebut.
Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Laki-laki merdeka.
2. Berakal (mempunyai kecerdasan).
3. Beragama Islam.
4. Adil.
5. Mengetahui segala pokok hukum dan
cabang-cabangnya.
6. Mendengar, melihat, dan tidak bisu.
Syarat-syarat tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
tampaknya telah terangkum dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) sebagai berikut.
(1) Menjadi seorang hakim pada Pengadilan Agama. Seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Warga Negara Indonesia;
b. Beragama Islam;
c. Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha esa;
d. Setia Kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945;
e. Bukan mantan anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk Organisasi Massanya atau bukan
seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra
Revolusi G.30.S/PKI, atau organisasi terlarang yang lain;
f. Sarjana syariah atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam;
g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh
lima) tahun;
h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan
tidak tercela.
(2) Seorang hakim harus Pegawai Negeri yang berasal dari calon hakim,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berumur paling rendah 25 tahun (dua
puluh lima tahun).
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan
bahwa persyaratan menjadi hakim, baik dalam kitab-kitab fiqh maupun dalam
peraturan perundangan sangat ketat mengingat implikasi putusan hakim sangat
menyentuh kepada rasa keadilan masyarakat.
C. Tata cara pengadilan menjatuhkan hukuman
Lembaga peradilan menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut.
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan
b. Dari kondisi para hakim bahwa mereka telah
melakukan pemeriksaan sesuai dengan prosedur tang berlaku
D. Unsur-unsur peradilan
a. Hakim atau qadhi
b. Hukum
c. Mahkum Bihi
d. Mahkum A’laihi
e. Mahkum Lahu
f. Perbuatan atau perkataan yang
menunjuk kepada hukum (putusan)
E. Hakim wajib mencari keadilan dalam
mengadili manusia
Di tangan hakimlah terletak lepas dan terikatnya manusia yang berperkara,
sengsara atau selamatnya mereka, oleh karena itu seorang hakim harus
bersungguh-sunguh mencari kebenaran agar dapat menghukum dengan seadil-adilnya.
Allah berfirman: “Dan bila kamu menghukum antara manusia, supaya kamu
menghukum dengan seadil-adilnya.”
Salah satu syarat bagi orang yang diangkat menjadi hakim adalah memiliki
kemampuan berijtihad dan bersungguh-sungguh mencari hak dengan berpedoman
kepada jitab Allah dan Sunnah Nabinya.
Sabda Rasulullah Saw : “Dari Amru bin Ash, dari Nabi Saw bersabda
beliau : apabila seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad, maka betul
ijtihadnya itu, maka baginya tersedia dua pahala.”
Dengan demikian nyatalah bahwa hukum yang wajib dilakukan terlebih dahulu
adalah menurut yang tertulis dalam Al-qur’an. Jika tidak dapat dalam Al-qur’an
dicari dalam hadits, jika tidak ditemukan dalam hadits, dicari Ilat atau
persamaannya, inilah yang disebut dengan ijtihad. Jika tidak dapat dalam
Al-qur’an tetapi mempunyai ikatan atau persamaan dengan perkara lain atau
hukumnya ada dalam Al-qur’an dan hadits, maka hukumnya disamakan inilah yang
disebut Qiyas yang melakukan hendaklah yang pandai berijtihad menurut syar’i.
F. Kesopanan dalam menghukum
Hakim adalah jabatan yang tinggi dan
mulai. Oleh sebab itu seorang hakim hendaklah berlaku sopan saat mengadili.
Sebab di tangan hakimlah terletak keputusan bebas tidaknya seseorang
terdakwah/tersangka, atau penggugat dengan tergugat. Oleh sebab itu dalam
mengadili suatu perkara hendaklah dijaga.
Pertama, memeriksa perkara atau memutuskan
hukuman ketika dalam keadaan marah, sebab marah timbul dengan hawa nafsu,
biasanya membawa kepada kebinasaan dan kezaliman.
Sabda Rasulullah saw : “Dari
Abdurahman bin Abu Bakrah r.a berkata ia : bersabda Rasulullah saw : hakim
tidak boleh menjatuhkan hukuman kedua orang yang berperkara ketika ia sedang
keadaan marah.
Tidak boleh menjatuhkan hukuman dalam
keadaan:
1. Sedaang marah
2. Sedang keadaan lapar dan haus
3. Sedang susah atau sedang gembira
4. Sedang sakit
5. Sedang menahan membuang air besar
6. Sedang mengantuk
7. Sangat panas atau sangat dingin (hal ini
dikarenakan semua itu semua itu dapat mempengaruhi ketenangan pikiran dan dapat
pula mengakibatkan ketidak adilan dalam menjatuhkan hukuman).
Kedua, hendaklah menyamakan pertanyaan, tempat duduk dan sebagainya antara
dua orang yang berperkara. Dari Abdullah bin Zubair r.a berkata ia :
“Rasulullah saw telah menjatuhkan hukuman sedang kedua orang yang berselisih
itu duduk di hadapan hakim.”
Ketiga, hendaklah mendengarkan dengan baik keterangan kedua belah pihat
secara berganti-ganti
Sabda Rasulullah saw. Dari Ali r.a berkata ia: bersabda Rasulullah saw
:“Apabila semua hukuman bagi orang yang pertama sebelum engkau akan mengetahui
cara menghukum mereka. Berkata Ali : senantiasa aku menjadi kadi (menghukum
seperti itu) sesudah itu. Digunakan pengadilan itu diadakan ditengah-tengah
Negeri atau tengah-tengah daerah pemerintahan. Yaitu di ibu kota, di tempat
yang terlihat dan jangan di masjid, sebab masjid adalah tempat beribadat.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menjadi hakim hukumnya fardu kifayah jika tidak ada orang yang sanggup
untuk menjadi hakim. Dan disunatkan apabila jika memang dirinya lebih pantas
dibandingkan dengan orang lain yang juga layak bekapasitas untuk menjadi
hakim, Sebaliknya jika orang lain lebih layak menjadi hakim maka kita
makruh hukumnya menjadi hakim. Hukumnya mubah apabila didapatkan
orang lain sama kelayakannnya untuk menjadi hakim, dan haram hukumnya manakala
,memang tidak mempunyai kapasitas kemampuan untuk menjadi hakim.
B. Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
Basiq djalil, PERADILAN HAKIM, cet.1,
Jakarta : AMZAH, 2012,
SayyidShabiq, FiqhSunnah, Jil.3, cet, 1,
Bandung : Al-Ma’arif Bandung, 1978,
Gemala dewi dkk, hukum acara perdata peradilan agama Indonesia, cet.1,
Jakarta: kenacana, 2005,
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Pustaka
Al-kautsar, Jakarta timur : 2009,
[1] Basiq djalil,
PERADILAN HAKIM, cet.1, (Jakarta : AMZAH, 2012), hal. 23
[2] Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an, Pustaka Al-kautsar, (Jakarta timur : 2009), hal. 95
No comments:
Post a Comment