Saturday, 18 April 2015

Hukum Aqli ,Syari`i dan `Adi

Hukum  ‘Aqly (Akal)

Hukum ‘Aqly terbagi tiga, yaitu:
1.      Wajib, artinya perkara yang tidak boleh pada akal dengan tiadanya. Yaitu akal kita tidak menerima dengan ketiadaannya yg wajib tersebut seperti tidak masuk akal apabila tuhan itu tidak ada.

2.      Mustahil, artinya perkara yang tidak boleh pada akal dengan adanya ( mustahil dengan adanya bagi ‘aqal). Yaitu akal kita tidak menerima apabila tuhan itu memiliki sifat jahil maka akal kita menolak dengan adanya sifat yang sedemikian.

3.      Jaiz, artinya perkara yang adanya dan tiadanya dapat diterima ‘aqal.Yaitu bolehlah bagi Allah menjadikan makhluk atau meniadakannya makhluk.



Hukum Syar’i

            Hukum syar’i adalah perintah Allah SWT yang diberatkan/ yang diberi tanggung jawab bagi orang yang telah mukallaf ), maka disebut dengan taklif (perintah yang memberatkan)
Hukum syar’i ada tujuh, yaitu:
1.      Wajib, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa.
2.      Sunnah, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika di tinggalkan maka tidak mendapatkan sesuatu dari pada pahala dan dosa
3.      Haram, artinya perkara yang jika dikerjakan mendapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
4.      Makruh, artinya perkara yang jika dikerjakan tidak mendapat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
5.      Mubah, artinya “harus syar’i”, yaitu perkara yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan tiada mendapat dosa ataupun pahala.
6.      Shahih (sah), artinya perkara yang sempurna  segala syaratnya dan segala rukunnya.
7.      Bathal, artinya perkara yang kurang syaratnya atau rukunnya.


Hukum ‘Ady (Adat/Kebiasaan)

            Hukum ‘ady artinya menetapkan suatu perkara bagi suatu hal, atau menetapkan suatu perkara pada suatu hal dengan alasan perkara tersebut berulang-ulang.
1.      Pertambatan/penetapan keadaan suatu perkara dengan keadaan perkara lainnya. Misalnya keadaan kenyang dengan keadaan makan.
2.      Penetapan ketiadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lainnya. Misalnya ketiadaan kenyang dengan ketiadaan makan.
3.      Penetapan keadaan suatu perkara dengan ketiadaan perkara lain. Misalnya keadaan dingin dengan ketiadaan selimut.
4.      Pentapan ketiadaan suatu perkara dengan keadaan suatu perkara lain. Misalnya ketiadaan hangus dengan adanya siraman air.


Dengan penjelasan diatas  kita telah mengetahui perbedaan antara wajib syar’i dengan wajib ‘aqly. Maka apabila disebutkan wajib atas tiadp mukallaf maka yang dimaksudkan ialah wajib syar’i. Jika disebutkan wajib bagi Allah Ta’ala atau bagi Rasulullah, maka yang dimaksudkan ialah wajib ‘aqly. Jika dikatakan jaiz bagi mukallaf, maka maksudnya jaiz syar’i. Jika dikatakan jaiz bagi Allah Ta’ala, maka maksudnya adalah jaiz ‘aqly.


No comments:

Post a Comment